Gowa, 23 Juni 2025 — Pembangunan perumahan Namiland Tahap 3 di Desa Kanjilo, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Proyek hunian yang semestinya membawa manfaat, justru memantik persoalan serius: saluran irigasi pertanian ditimbun, dan hingga kini tidak diganti, meski sudah dijanjikan.
Saluran irigasi yang menjadi tulang punggung sawah warga dihilangkan begitu saja, padahal keberadaannya sangat vital untuk pengairan lahan. Ironisnya, pengembang sempat berjanji membangun saluran baru yang lebih layak, namun hingga berita ini diturunkan, janji tersebut belum terealisasi.
Masalah ini bukan baru. Sebelumnya, proyek ini juga menyebabkan banjir di area persawahan sekitar. Solusi sementara dengan pompa dinilai sebagai langkah reaktif semata, tanpa menyentuh akar persoalan.
"Kalau banjir ditangani dengan pompa, lalu bagaimana jaminan untuk musim tanam berikutnya? Irigasi itu bukan tambahan, tapi kebutuhan dasar bagi petani. Harusnya dibangun sejak awal proyek," tegas Danial, Koordinator FORMASI Gowa.
Danial menyebut proyek ini telah mengabaikan banyak regulasi penting, antara lain:
UU No. 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PP No. 20 Tahun 2006
tentang Irigasi Perda RTRW Kabupaten Gowa yang menekankan keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan infrastruktur pertanian
Lebih dari sekadar persoalan teknis, kasus ini memperlihatkan rapuhnya pengawasan pemerintah daerah. Dinas Pertanian Gowa disorot karena dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Bahkan, terkesan tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi.
"Dinas Pertanian seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak dan kepentingan petani. Tapi yang terjadi malah seolah mereka ikut arus Namiland," ungkap Haeruddin, Humas INAKOR Gowa.
Tak hanya eksekutif, fungsi pengawasan legislatif oleh DPRD Gowa juga dipertanyakan. Dalam situasi genting ini, diamnya DPRD dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hak rakyat.
"Fungsi kontrol DPRD juga perlu dipertanyakan. Jangan hanya diam saat petani dirugikan. Ketika pengawasan legislatif dan eksekutif lumpuh, maka rakyat dibiarkan menghadapi ketidakadilan sendirian," lanjut Haeruddin.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa jika pembiaran ini dibiarkan berlarut, maka bukan hanya sawah yang rusak, tetapi fungsi negara dalam melindungi warganya juga akan runtuh.
"Pembangunan tidak boleh jadi alat untuk mengorbankan rakyat kecil. Ini bukan hanya soal saluran irigasi, tapi soal hak hidup petani, keadilan tata ruang, dan kewajiban negara. Bila negara diam, maka negara ikut dalam pengabaian," pungkasnya.(***)